Buku Raja Dua Kutub
Tittle Caption of Book :
Buku Raja Dua Kutub
sub bab
aPPOCALYPTIC
yA'JUJ Wa mA'JUJ
write by inspe al muntazhor
Ya’juj wa Ma’juj bagian dari takdir Allah
Keganasan
appocalyptic Ya’juj wa Ma’juj terdefinisi atas paradigma bahasa takdir Allah
yang irodah, dengan meyakini omni-omni takdir Allah tersebut termasuk segala
ketetapan berupa katastasi berikut prosesi [1],
mendefinisikan bahasa takdir secara lebih spesifik bagai tekstual design
mathema yang memiliki lembaran-lembaran soal dan butuh di jawab. [1]
Takdir itu berupa keadaan dan cobaan, atau yang menyatakan keadaan sesuatu di
sertai oleh soal [masalah]
Rosululloh
shollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menulis takdir
seluruh makhluk ciptaan-Nya semenjak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan
langit dan bumi.” (HR. Muslim)
Bahasa
takdir dengan katastasi-katastasi yang telah dinyatakan Allah untuk menciptakan
design-design seluruh makhluqnya yang mathema, seperti terkutip dalam al
Qur’an, Allah Ta’ala befirman, “Allah adalah pencipta segala sesuatu”
(Az Zumar: 62). Termasuk apa yang telah menjadi ketetapannya dengan syare’at
agama.
Prosesi
(cobaan), menyatakan bahwa takdir itu
adalah keadaan di sertai cobaan, termasuk keadaan baik dan keadaan buruk,
keduanya adalah cobaan, dan cobaan itu adalah soal untuk menjawab tentang cara
bagaimana menjalani keadaan, dan Allah menuntun takdir lebih spesifik, bahwa
takdir baik dan buruk yang telah di catatkan, dan keduanya memiliki tujuan yang
sama, bertujuan yang baik melalui tuntunan syare’at agama yang juga sudah di
takdirkan oleh Allah.
Berkenaan dengan lubang pada tembok Dzulqornaen, adalah
bagian dari takdir Allah, dan Ya'juj wa Ma'juj telah membawa kutukan atas
dinding itu hingga menjelang hari Qiamat nanti, dengan keriskanan-keriskanan
kutukan yang ada padanya, dan mereka bekerja keras siang malam hanya dengan
lidahnya, demi berharap agar dinding itu terbuka. Dan Allah tidak memberi
dispensasi itu dengan ketentuan yang telah di tetapkan, yaitu hingga ketika
mereka beranak seribu, dan kemunculan mereka pada akhir zamanpun menjadi
takdir.
Ini
menunjukkan bahwa takdir buruk yang mereka terima berdasarkan sebab yang telah
mereka pilih, dan mereka telah memilih kekafiran mereka sebagai takdirnya,
padahal Allah sangat demokratis ketika IA menentukan takdir bagi tiap-tiap
hamba-NYA. Hal ini merujuk pada firman Allah sebagai merikut ;
“...
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir... “ (Al Kahfi / QS.
18:29)
“Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia” (Ar Ra'd / QS.
13:11)
Prosesi (cobaan), menyatakan bahwa takdir itu adalah
keadaan di sertai cobaan, termasuk keadaan baik dan keadaan buruk, keduanya
adalah cobaan, dan cobaan itu adalah soal untuk menjawab tentang cara bagaimana
menjalani keadaan, dan Allah menuntun takdir lebih spesifik, bahwa takdir baik
dan buruk yang telah di catatkan, dan keduanya memiliki tujuan yang sama,
bertujuan yang baik melalui tuntunan syare’at agama yang juga sudah di
takdirkan oleh Allah.
Hal ini di bahas sekaligus
untuk mengutip segala macam pertanyaan, tentang kesalahan mereka karena menolak
takdir syare'at agama Allah, sebab menurut mereka ilmu syare'at agama adalah
penjara bagi mereka, ini menuntun kita untuk bertanya lebih jauh, mengapa
kesalahan Bapak-Bapak dari Ya'juj wa Ma'juj juga di tanggung oleh anak-anak
mereka?, sebab dalam suatu hadits menerangkan, bahwa Qiamat tidak akan
menjelang sebelum tiap-tiap dari Bapak Ibu mereka beranak hingga seribu orang.
Ini sekaligus juga menjelaskan, bahwa tiap-tiap seribu dari seribu mereka
adalah jumlah yang sangat banyak sekali.
Pernyataan mereka ini sekaligus untuk menerangkan, bahwa
Ya'juj wa Ma'juj adalah kaum dengan jumlah yang banyak, namun mereka adalah
definisi kaum yang sesat dan menolak ajaran syare'at agama, sedangkan syare'at
adalah fasal-fasal kehidupan untuk membedakan terangnya al ma'ruf dan al
munkar. Dan jika tidak timbul keterangan-keterangan yang jelas mengenai al
ma'ruf dan al munkar, maka menjadi mustahil artinya untuk menimbulkan al
maujud.
Secara difinitif, kharakter Ya'juj wa Ma'juj menjadi lebih
jelas untuk di tekstualisasikan, bahwa Ya'juj wa Ma'juj adalah golongan yang
menolak doktrin syare'at agama Allah. Ini jelas sekali dan tidak memiliki
perbedaan terhadap ketetapan nash-nash al Qur'an yang ada untuk menegaskan
betapa bodoh dan jahilnya kaum Ya'juj wa Ma'juj.
Padahal Allah memberikan karunia yang baik dengan telinga
untuk mendengar, namun jahil-nya akal membuat telinga hanya sekedar bagai alas
tidur dan selimut, hingga mereka di tetapkan dengan bahasa-bahasa epigram yang
selalu di liputi sifat-sifat cela, sama seperti jika di katakan : "betapa
bodohnya orang yang menjadikan telinganya sangat panjang, namun tidak di
pergunakan untuk mendengar nasehat baik-baik, bahkan telinga merekapun hanya
sekedar di pergunakan menjadi alas dan selimut tidur, dan mereka adalah kaum
yang tuli, kaum yang telinganya tertidur, sehingga tiap-tiap nasehat yang
datang menjadi percuma dan sia-sia belaka, padahal sebaik-baik nasehat itu
adalah yang datang kepadanya"
Dalam tiap-tiap bab pedagogistik keilmuan, bidang religi
memang bidang yang paling sederhana, namun penjabarannya begitu mengagumkan,
sehingga sikap-sikap imposanisme bisa merubah hal-hal yang analogis menjadi
lari dari konsekwensi. Takabbur adalah percontohan dari appocaliptyc Ya’juj wa
Ma’juj yang membawa sikap imposanisme menjadi trademark petaka yang tercatat
dalam sejarah, dan kebodohan mereka sebagai kaum yang tiada mengambil ibroh
hasanah.
Semakin banyak di zaman ini orang berlomba-lomba mendesign
wajah baru dalam spesifikasi ilmu, dan mereka menentukan tia-tiap perubahan itu
dalam berbagai catatan qonun yang lengkap, dan langkah-langkah ini semakin jauh
di lakukan di sejauh berbagai fakta-fakta yang mengungkap fatamorgana rahasia
ilmu Allah Swt. Kemudian beragam langkah Qonunpun merangsang bertumbuh suburnya
perkembangan dunia sains sebagai motivasi yang inovatif. Namun mereka lupa,
bahwa semakin jauh langkah Qonun dapat di tetapkan sebagai bahan-bahan baru
yang bersifat tekstual, maka perubahan-perubahan ini akan semakin kabur dari
pandangan agama yang sebenarnya, dan memiliki kecenderungan dengan efek-efek
malapetaka apocalypto (kiamat).
Hal ini terang mengharuskan kita untuk mendesign Pemimpin
yang mampu merancang ide-ide efektif untuk membuat perisai diri dari efek-efek
bahaya apocalyptic tersebut, dan hal itu hanya ada di dalam tatanan ilmu
keagamaan, baik itu di pandang melalui yang ushul maupun yang furu'.
Dan seorang Imam Ja'far Shodiq di dalam pernyataannya telah
ikut berpartisipasi demi kelanggengan fasal-fasal syare'at agama, bahwa bumi
tidak akan maujud sebelum datangnya seorang alim dari kalangan kita (islam),
yang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan.Ini adalah dedikasi di dalam
kurun waktu yang tertekstual demi kepentingan yang matig, sebagai harga tetap
fakultas-fakultas keilmuan yang tidak perlu di sertai oleh desivitasi apapun.
Dalam pendapat yang sohih mengatakan : "akal itu
sumber pengetahuan secara otomatis yang di dapat secara hawats", dan pada
kepentingan ini di bahas sebagai syarat tabel kharismatik Pemimpin yang di
harapkan (in spe) oleh ummat.
Pemimpin dengan akal adalah bagian dari consciens of men,
dan sosialisasi akal Pemimpin itu adalah penuntun aktifitas ummatnya, lalu
bagaimana seorang Pemimpin dapat mengarahkan akalnya demi keikhlasan agama?,
ini harga moralitas yang wajib di penuhi untuk menjauhi beban-beban apocalypto.
Akal secara syare'at agama, adalah takdir yang dapat
menyelamatkan kita dari kepunahan, dan petunjuk itu telah lebih jernih dengan
syarat-syarat kejernihan akal secara moralitas dalam kehidupan sehari-hari, dan
logika, di mana ia berperan untuk mengasumsi segala kebutuhan-kebutuhan akal
dengan cara-cara yang halal dan mendapat ridho Allah Swt. Sebab berkaitan
dengan kebutuhan akal adalah bahan-bahan vitamin akal yang mendukung, sehingga
potensi materi-materi halus yang ada di dalam akal dapat
bekerja rapi dan benar, dan kebutuhan itu demi kelangsungan dedikasi dini dari
akal, untuk membedakan hakikat yang benar melalui petunjuk yang bersifat ilahi.
Membahas akal, maka ada dua macam di dalam tekstual kitab
'adabuddunya waddin', yaitu :
1. akal Ghoriz, dan
2. akal sebenarnya
Kemudian lebih terperinci lagi, kitab itu menjelaskan
bagaimana akal di tempatkan untuk bekerja, yaitu pada otak dan pada hati
sebagai bahan panca indera yang hawats, dan tujuannya adalah ni'mat taufiq dari
Allah.
Jadi dalam penegasan Guru ustad Ro'i dalam satu keterangan
yang di nukil dari kitab adabuddunya waddin lagi, bahwa akal itu tidak bisa
menurut kumpulan ilmu dhururi (tidak perlu di fikirkan), justru karena manusia
itu bersifat hayawaanun, bekerja dengan takdir akal, hingga manusia di katakan
insan nathiq yang ulul albab. Maka manusia dengan akalnya adalah kewajiban
dengan takdir berfikir, manusia di ciptakan untuk berfikir.
Pemimpin dengan percontohan akal yang sempurna, seperti
yang di jelaskan oleh Ustad Mukhsin Ihsan dari kitab Sholawat karangan Sayyid
Abdul Jalil bin Azum, adalah Nabi Besar kita, yaitu Junjungan kita, Baginda
Nabi Muhammad Saw, sebagai contoh suri tauladan Pemimpin dengan kharismatik
akal, yang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan.
Kembali
pada pokok bahasan, takdir apocaliptyc Ya’juj wa Ma’juj, seorang Abu Mushlih
Ari Wahyudi di dalam kutipan artikelnya ; ‘ www.muslim.or.id’,
mengatakan : “apakah orang yang bermaksiat itu terpuji? Jawabnya, Tidak. Karena
dia telah melakukan perkara yang tidak dicintai
bahkan dibenci oleh Allah.
Pada detik-detik akut chronometer kemunculan Ya'juj wa
Ma'juj, jihad-jihad defensif yang di kobarkan oleh otoritas menemui banyak
titik infirmitasi (kelemahan), hal ini di kemukakan selain memberikan penegasan
terhadap kemunculan Ya'juj wa Ma'juj yang hadir atas penekanan-penekanan yang
di arahkan secara ilahi, lalu keberadaan mereka berokupasi secara transparan
dalam tubuh ummat, sehingga pembahasan mengenai perjuangan jihad menjadi
berbelit-belit dan mengajukan banyak syarat yang memenuhi hak-hak jihad dari
pandangan yang syar'i, itu adalah zaman di mana Ya'juj wa Ma'juj membaur di
tengah-tengah ummat, lalu menjadikan fitnah-fitnah menebar secara provokatif
tak bertuan. Keadaan ini cenderung menciptakan mekanisme otoritas menjadi dua
bagian, pertama otoritas memiliki mekanisme yang lebih temporal dalam bentuk
penjajahan yang dinastif, dan kecenderungan otoritas dalam wilayah yang cozi.
Takdir ilahi menuntun keadaan-keadaan historis menjadi
lebih dramatis atas banyaknya kalangan alim’ulama yang di-wafatkan, sekaligus
menjadi hari penentu yang sangat tidak beraturan, sehingga menjadi reduplah
batas antara kebenaran dan kebatilan, kemudian Allah mencabut seluruh ilmu yang
telah di wariskan kepada hamba-hamba-NYA melalui wafatnya para alim‘ulama.
Historis ini kemudian mengembangkan kehadiran para 'ulama
suu' yang pro otoritas dinastif, dan sepanjang depresi terhebat dalam orientasi
keilmuan adalah fatwa-fatwa mereka yang cenderung egois dan mengutamakan
kenikmatan duniawi belaka, sehingga implikasi-implikasi yang berkaitan dengan
kemunculan masyarakat Ya'juj wa Ma'juj semakin terbuka gamblang.
Bahkan ketika kecacatan otoritas menimbulkan banyak
bantahan-bantahan dari kalangan minoritas yang dessident, keadaan stagnasi ini
kemudian membuat banyak syak-syak individualitas ummat semakin lari dari
keyakinannya melihat realitas kebenaran, mereka justru lebih cenderung buas
dalam tabiat yang menonjol untuk saling mengalahkan satu sama lain.
“siapa lemah di tindas, siapa kuat dia berkuasa”, faham
para 'ulama suu' ini tampaknya semakin menumpuk-numpuk dusta, dan kejanggalan
faham-faham mereka kemudian semakin menjadi terikat di dalam ruang lingkup otoritas
de facto, yang kemudian mereka menjadikan faham itu sebagai potensi baru yang
menyesatkan di dalam pandangan madzhab otoritas, sehingga merubah paradigma
keagamaan sebagai sesuatu yang penuh dengan kebencian dan syak wasangka.
Takdir ini sunguh riskan dengan insting otoritas yang
menghilangkan kehalusan budi pekerti manusia sebagai legasi yang kharismatis,
sehingga Ya'juj wa Ma'juj muncul dengan alasan-alasan khas yang timbul
berdasarkan alterkasi dendam (kesumat).
Pada awalnya kesalahan ini terpicu oleh sebab kemampuan
otoritas yang hanya menunjukkan kewajiban secara mustahab (perkara yang di
sukai). Dan seorang mufti, Syekh Muhammad al Maliki dalam sebuah nukil kitabnya
(ahwab al Faraj), dengan ta’rif-ta’rif yang membatalkan nilai ‘ibadah, yaitu suatu
pekerjaan yang di mulai tanpa mengucap nama Allah, dan tidak mengakhirinya
dengan nama Allah. Dan otoritas masyarakat Ya’juj wa Ma’juj lebih dominan
mengingkari adi daya Allah ketimbang inovasi teknology yang mereka kembangkan.
Pengingkaran ini adalah malapetaka yang lebih buruk lagi di kemudian hari
mereka, dan masa penyingkiran otoritas secara ochlocratie yang timbul secara
berkala. Kemudian setelah itu mereka menimbulkan argumen-argumen demi
kepentingannya yang dessidental, dan di balik wujud tindak tumindak mereka
untuk mengebiri seluruh elemen yang bertentangan pendapat dengan mereka,
lahirlah apocaliptyc Ya’juj wa Ma’juj.
Keterangan ini
sekaligus memberikan pernyataan mengenai Ya'juj wa Ma'juj yang dapat di
diskusikan melalui dua versi, pertama Ya'juj wa Ma'juj di zaman kuno, dan kedua
Ya'juj wa Ma'juj di zaman modern. Hal ini lebih masuk akal untuk mentafsir
definisi Ya’juj wa Ma’juj yang di ruwat melalui dalil-dalil yang ada.
Dan
pada zaman Dzulqornaen, kejelasan apocaliptyc Ya`juj dan Ma`juj yang kerap
melakukan kerusakan juga di jelaskan dalam al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman;
قَالُواْ يَـٰذَا ٱلۡقَرۡنَيۡنِ إِنَّ يَأۡجُوجَ وَمَأۡجُوجَ مُفۡسِدُونَ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَهَلۡ نَجۡعَلُ لَكَ خَرۡجًا عَلَىٰٓ أَن تَجۡعَلَ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَهُمۡ سَدًّ۬ا
“Mereka
berkata, ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu orang-orang yang
berbuat kerusakan di muka bumi ...” (Al-Kahfi: 94)
Kata
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, yang dimaksud
Al-Ifsad (membuat kerusakan) di muka bumi mencakup semua perbuatan yang tidak
baik dan tidak memperbaiki. Merusak dengan membunuh, merampok atau merampas,
penyimpangan, kesyirikan, dan dalam segala hal.
Adapun achterdocht yang menimbulkan hypothesa terhadap dua
versi Ya’juj wa Ma’juj adalah bagian dari jenis manusia yang hidup berdampingan
di zaman masing-masing, seperti di kutip pada bunyi ayat berikut; “ Kami biarkan mereka di hari itu
bercampur aduk antara satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi sangkakala,
lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya”.
Lalu
dari keterangan lain yang menguatkan Ya`juj dan Ma`juj merupakan anak keturunan
Nabi Adam ‘alaihissalam (manusia), yaitu adanya dalil dari sanad hadits yang
diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah, dari Abu Sa’id Al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda; “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai Adam.” Adam menjawab:
“Aku sambut panggilan-Mu dan dengan bahagia aku penuhi perintah-Mu, segala
kebaikan berada di tangan-Mu. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Keluarkanlah utusan (penghuni) neraka.” Adam bertanya, “Apa utusan (penghuni)
neraka itu?” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dari setiap 1.000 orang ada
999 orang.” Maka, ketika itu anak-anak kecil rambutnya beruban, yang hamil
melahirkan kandungannya, dan kamu lihat manusia mabuk padahal mereka tidak
mabuk, akan tetapi karena adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala yang teramat keras. Para
shahabat bertanya, “Siapa satu yang selamat dari kita itu, wahai Rasulullah?”
Beliau jawab, “Bergembiralah, karena kamu hanya seorang sedang dari kalangan
Ya`juj dan Ma`juj seribu orang.” (Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Anbiya` Bab
Qishshah Ya`juj wa Ma`juj)
Sejauh mendominasi bentuk rasa pracaya (keimanan) yang ada
di dalam tiap-tiap ensiklopedik eploidisasi Ya'juj wa Ma'juj, bahwa mereka
memiliki istimdad yang berasal dari keturunan Yafits bin Nuh as, lalu opodosi
zei wewengkon yang mengangkat nama Dzulqornaen yang di paradigmatiskan di dalam
al Qur'an. Kemudian kelengkapan argumentasi-argumentasi berkembang menyesuaikan
pengalaman lagenda di masing-masing wilayah.
Allah berfirman di dalam surah al Kahfi ayat 92 s/d 99;
“Kemudian dia
menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di
antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan keduanya, suatu kaum yang
hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: ‘Hai Dzulqarnain ! , sesungguhnya
Ya`juj dan Ma`juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka
dapatkah kami memberikan suatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding
antara kami dan mereka?’
Dzulqarnain berkata: ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku
terhadapnya adalah lebih baik, maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan
alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kalian dan mereka, berilah aku
potongan-potongan besi.’ Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua
(puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: ‘Tiuplah (api itu).’ Hingga
apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: ‘Berilah
aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.’ Maka
mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya.
Dzulqarnain berkata: ‘Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku, maka apabila
telah datang janji Rabbku Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabbku
itu adalah benar.’ Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu
dengan yang lain, kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka
itu semuanya.”
bersambung ................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar