Senin, 12 Januari 2015

RAJA DUA KUTUB



Buku Raja Dua Kutub


Tittle Caption of Book : 
Buku Raja Dua Kutub

sub bab 
aPPOCALYPTIC yA'JUJ Wa mA'JUJ
write by inspe al muntazhor

Ya’juj wa Ma’juj bagian dari takdir Allah

Keganasan appocalyptic Ya’juj wa Ma’juj terdefinisi atas paradigma bahasa takdir Allah yang irodah, dengan meyakini omni-omni takdir Allah tersebut termasuk segala ketetapan berupa katastasi berikut prosesi [1], mendefinisikan bahasa takdir secara lebih spesifik bagai tekstual design mathema yang memiliki lembaran-lembaran soal dan butuh di jawab. [1] Takdir itu berupa keadaan dan cobaan, atau yang menyatakan keadaan sesuatu di sertai oleh soal [masalah]

Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menulis takdir seluruh makhluk ciptaan-Nya semenjak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim)

Bahasa takdir dengan katastasi-katastasi yang telah dinyatakan Allah untuk menciptakan design-design seluruh makhluqnya yang mathema, seperti terkutip dalam al Qur’an, Allah Ta’ala befirman, “Allah adalah pencipta segala sesuatu” (Az Zumar: 62). Termasuk apa yang telah menjadi ketetapannya dengan syare’at agama.

Prosesi (cobaan), menyatakan bahwa  takdir itu adalah keadaan di sertai cobaan, termasuk keadaan baik dan keadaan buruk, keduanya adalah cobaan, dan cobaan itu adalah soal untuk menjawab tentang cara bagaimana menjalani keadaan, dan Allah menuntun takdir lebih spesifik, bahwa takdir baik dan buruk yang telah di catatkan, dan keduanya memiliki tujuan yang sama, bertujuan yang baik melalui tuntunan syare’at agama yang juga sudah di takdirkan oleh Allah.

Berkenaan dengan lubang pada tembok Dzulqornaen, adalah bagian dari takdir Allah, dan Ya'juj wa Ma'juj telah membawa kutukan atas dinding itu hingga menjelang hari Qiamat nanti, dengan keriskanan-keriskanan kutukan yang ada padanya, dan mereka bekerja keras siang malam hanya dengan lidahnya, demi berharap agar dinding itu terbuka. Dan Allah tidak memberi dispensasi itu dengan ketentuan yang telah di tetapkan, yaitu hingga ketika mereka beranak seribu, dan kemunculan mereka pada akhir zamanpun menjadi takdir.

Ini menunjukkan bahwa takdir buruk yang mereka terima berdasarkan sebab yang telah mereka pilih, dan mereka telah memilih kekafiran mereka sebagai takdirnya, padahal Allah sangat demokratis ketika IA menentukan takdir bagi tiap-tiap hamba-NYA. Hal ini merujuk pada firman Allah sebagai merikut ;

“... barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir... “ (Al Kahfi / QS. 18:29)

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (Ar Ra'd / QS. 13:11)

Prosesi (cobaan), menyatakan bahwa takdir itu adalah keadaan di sertai cobaan, termasuk keadaan baik dan keadaan buruk, keduanya adalah cobaan, dan cobaan itu adalah soal untuk menjawab tentang cara bagaimana menjalani keadaan, dan Allah menuntun takdir lebih spesifik, bahwa takdir baik dan buruk yang telah di catatkan, dan keduanya memiliki tujuan yang sama, bertujuan yang baik melalui tuntunan syare’at agama yang juga sudah di takdirkan oleh Allah.

Hal ini di bahas sekaligus untuk mengutip segala macam pertanyaan, tentang kesalahan mereka karena menolak takdir syare'at agama Allah, sebab menurut mereka ilmu syare'at agama adalah penjara bagi mereka, ini menuntun kita untuk bertanya lebih jauh, mengapa kesalahan Bapak-Bapak dari Ya'juj wa Ma'juj juga di tanggung oleh anak-anak mereka?, sebab dalam suatu hadits menerangkan, bahwa Qiamat tidak akan menjelang sebelum tiap-tiap dari Bapak Ibu mereka beranak hingga seribu orang. Ini sekaligus juga menjelaskan, bahwa tiap-tiap seribu dari seribu mereka adalah jumlah yang sangat banyak sekali.

Pernyataan mereka ini sekaligus untuk menerangkan, bahwa Ya'juj wa Ma'juj adalah kaum dengan jumlah yang banyak, namun mereka adalah definisi kaum yang sesat dan menolak ajaran syare'at agama, sedangkan syare'at adalah fasal-fasal kehidupan untuk membedakan terangnya al ma'ruf dan al munkar. Dan jika tidak timbul keterangan-keterangan yang jelas mengenai al ma'ruf dan al munkar, maka menjadi mustahil artinya untuk menimbulkan al maujud.

Secara difinitif, kharakter Ya'juj wa Ma'juj menjadi lebih jelas untuk di tekstualisasikan, bahwa Ya'juj wa Ma'juj adalah golongan yang menolak doktrin syare'at agama Allah. Ini jelas sekali dan tidak memiliki perbedaan terhadap ketetapan nash-nash al Qur'an yang ada untuk menegaskan betapa bodoh dan jahilnya kaum Ya'juj wa Ma'juj.

Padahal Allah memberikan karunia yang baik dengan telinga untuk mendengar, namun jahil-nya akal membuat telinga hanya sekedar bagai alas tidur dan selimut, hingga mereka di tetapkan dengan bahasa-bahasa epigram yang selalu di liputi sifat-sifat cela, sama seperti jika di katakan : "betapa bodohnya orang yang menjadikan telinganya sangat panjang, namun tidak di pergunakan untuk mendengar nasehat baik-baik, bahkan telinga merekapun hanya sekedar di pergunakan menjadi alas dan selimut tidur, dan mereka adalah kaum yang tuli, kaum yang telinganya tertidur, sehingga tiap-tiap nasehat yang datang menjadi percuma dan sia-sia belaka, padahal sebaik-baik nasehat itu adalah yang datang kepadanya"

Dalam tiap-tiap bab pedagogistik keilmuan, bidang religi memang bidang yang paling sederhana, namun penjabarannya begitu mengagumkan, sehingga sikap-sikap imposanisme bisa merubah hal-hal yang analogis menjadi lari dari konsekwensi. Takabbur adalah percontohan dari appocaliptyc Ya’juj wa Ma’juj yang membawa sikap imposanisme menjadi trademark petaka yang tercatat dalam sejarah, dan kebodohan mereka sebagai kaum yang tiada mengambil ibroh hasanah.

Semakin banyak di zaman ini orang berlomba-lomba mendesign wajah baru dalam spesifikasi ilmu, dan mereka menentukan tia-tiap perubahan itu dalam berbagai catatan qonun yang lengkap, dan langkah-langkah ini semakin jauh di lakukan di sejauh berbagai fakta-fakta yang mengungkap fatamorgana rahasia ilmu Allah Swt. Kemudian beragam langkah Qonunpun merangsang bertumbuh suburnya perkembangan dunia sains sebagai motivasi yang inovatif. Namun mereka lupa, bahwa semakin jauh langkah Qonun dapat di tetapkan sebagai bahan-bahan baru yang bersifat tekstual, maka perubahan-perubahan ini akan semakin kabur dari pandangan agama yang sebenarnya, dan memiliki kecenderungan dengan efek-efek malapetaka apocalypto (kiamat).

Hal ini terang mengharuskan kita untuk mendesign Pemimpin yang mampu merancang ide-ide efektif untuk membuat perisai diri dari efek-efek bahaya apocalyptic tersebut, dan hal itu hanya ada di dalam tatanan ilmu keagamaan, baik itu di pandang melalui yang ushul maupun yang furu'.

Dan seorang Imam Ja'far Shodiq di dalam pernyataannya telah ikut berpartisipasi demi kelanggengan fasal-fasal syare'at agama, bahwa bumi tidak akan maujud sebelum datangnya seorang alim dari kalangan kita (islam), yang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan.Ini adalah dedikasi di dalam kurun waktu yang tertekstual demi kepentingan yang matig, sebagai harga tetap fakultas-fakultas keilmuan yang tidak perlu di sertai oleh desivitasi apapun.

Dalam pendapat yang sohih mengatakan : "akal itu sumber pengetahuan secara otomatis yang di dapat secara hawats", dan pada kepentingan ini di bahas sebagai syarat tabel kharismatik Pemimpin yang di harapkan (in spe) oleh ummat.

Pemimpin dengan akal adalah bagian dari consciens of men, dan sosialisasi akal Pemimpin itu adalah penuntun aktifitas ummatnya, lalu bagaimana seorang Pemimpin dapat mengarahkan akalnya demi keikhlasan agama?, ini harga moralitas yang wajib di penuhi untuk menjauhi beban-beban apocalypto.

Akal secara syare'at agama, adalah takdir yang dapat menyelamatkan kita dari kepunahan, dan petunjuk itu telah lebih jernih dengan syarat-syarat kejernihan akal secara moralitas dalam kehidupan sehari-hari, dan logika, di mana ia berperan untuk mengasumsi segala kebutuhan-kebutuhan akal dengan cara-cara yang halal dan mendapat ridho Allah Swt. Sebab berkaitan dengan kebutuhan akal adalah bahan-bahan vitamin akal yang mendukung, sehingga potensi materi-materi halus yang ada di dalam akal dapat bekerja rapi dan benar, dan kebutuhan itu demi kelangsungan dedikasi dini dari akal, untuk membedakan hakikat yang benar melalui petunjuk yang bersifat ilahi.

Membahas akal, maka ada dua macam di dalam tekstual kitab 'adabuddunya waddin', yaitu : 

1.       akal Ghoriz, dan
2.       akal sebenarnya

Kemudian lebih terperinci lagi, kitab itu menjelaskan bagaimana akal di tempatkan untuk bekerja, yaitu pada otak dan pada hati sebagai bahan panca indera yang hawats, dan tujuannya adalah ni'mat taufiq dari Allah.

Jadi dalam penegasan Guru ustad Ro'i dalam satu keterangan yang di nukil dari kitab adabuddunya waddin lagi, bahwa akal itu tidak bisa menurut kumpulan ilmu dhururi (tidak perlu di fikirkan), justru karena manusia itu bersifat hayawaanun, bekerja dengan takdir akal, hingga manusia di katakan insan nathiq yang ulul albab. Maka manusia dengan akalnya adalah kewajiban dengan takdir berfikir, manusia di ciptakan untuk berfikir.

Pemimpin dengan percontohan akal yang sempurna, seperti yang di jelaskan oleh Ustad Mukhsin Ihsan dari kitab Sholawat karangan Sayyid Abdul Jalil bin Azum, adalah Nabi Besar kita, yaitu Junjungan kita, Baginda Nabi Muhammad Saw, sebagai contoh suri tauladan Pemimpin dengan kharismatik akal, yang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan.

Kembali pada pokok bahasan, takdir apocaliptyc Ya’juj wa Ma’juj, seorang Abu Mushlih Ari Wahyudi di dalam kutipan artikelnya ; ‘ www.muslim.or.id’, mengatakan : “apakah orang yang bermaksiat itu terpuji? Jawabnya, Tidak. Karena dia telah melakukan perkara yang tidak dicintai  bahkan dibenci oleh Allah.

Pada detik-detik akut chronometer kemunculan Ya'juj wa Ma'juj, jihad-jihad defensif yang di kobarkan oleh otoritas menemui banyak titik infirmitasi (kelemahan), hal ini di kemukakan selain memberikan penegasan terhadap kemunculan Ya'juj wa Ma'juj yang hadir atas penekanan-penekanan yang di arahkan secara ilahi, lalu keberadaan mereka berokupasi secara transparan dalam tubuh ummat, sehingga pembahasan mengenai perjuangan jihad menjadi berbelit-belit dan mengajukan banyak syarat yang memenuhi hak-hak jihad dari pandangan yang syar'i, itu adalah zaman di mana Ya'juj wa Ma'juj membaur di tengah-tengah ummat, lalu menjadikan fitnah-fitnah menebar secara provokatif tak bertuan. Keadaan ini cenderung menciptakan mekanisme otoritas menjadi dua bagian, pertama otoritas memiliki mekanisme yang lebih temporal dalam bentuk penjajahan yang dinastif, dan kecenderungan otoritas dalam wilayah yang cozi.

Takdir ilahi menuntun keadaan-keadaan historis menjadi lebih dramatis atas banyaknya kalangan alim’ulama yang di-wafatkan, sekaligus menjadi hari penentu yang sangat tidak beraturan, sehingga menjadi reduplah batas antara kebenaran dan kebatilan, kemudian Allah mencabut seluruh ilmu yang telah di wariskan kepada hamba-hamba-NYA melalui wafatnya para alim‘ulama.

Historis ini kemudian mengembangkan kehadiran para 'ulama suu' yang pro otoritas dinastif, dan sepanjang depresi terhebat dalam orientasi keilmuan adalah fatwa-fatwa mereka yang cenderung egois dan mengutamakan kenikmatan duniawi belaka, sehingga implikasi-implikasi yang berkaitan dengan kemunculan masyarakat Ya'juj wa Ma'juj semakin terbuka gamblang.

Bahkan ketika kecacatan otoritas menimbulkan banyak bantahan-bantahan dari kalangan minoritas yang dessident, keadaan stagnasi ini kemudian membuat banyak syak-syak individualitas ummat semakin lari dari keyakinannya melihat realitas kebenaran, mereka justru lebih cenderung buas dalam tabiat yang menonjol untuk saling mengalahkan satu sama lain.

“siapa lemah di tindas, siapa kuat dia berkuasa”, faham para 'ulama suu' ini tampaknya semakin menumpuk-numpuk dusta, dan kejanggalan faham-faham mereka kemudian semakin menjadi terikat di dalam ruang lingkup otoritas de facto, yang kemudian mereka menjadikan faham itu sebagai potensi baru yang menyesatkan di dalam pandangan madzhab otoritas, sehingga merubah paradigma keagamaan sebagai sesuatu yang penuh dengan kebencian dan syak wasangka.

Takdir ini sunguh riskan dengan insting otoritas yang menghilangkan kehalusan budi pekerti manusia sebagai legasi yang kharismatis, sehingga Ya'juj wa Ma'juj muncul dengan alasan-alasan khas yang timbul berdasarkan alterkasi dendam (kesumat).

Pada awalnya kesalahan ini terpicu oleh sebab kemampuan otoritas yang hanya menunjukkan kewajiban secara mustahab (perkara yang di sukai). Dan seorang mufti, Syekh Muhammad al Maliki dalam sebuah nukil kitabnya (ahwab al Faraj), dengan ta’rif-ta’rif yang membatalkan nilai ‘ibadah, yaitu suatu pekerjaan yang di mulai tanpa mengucap nama Allah, dan tidak mengakhirinya dengan nama Allah. Dan otoritas masyarakat Ya’juj wa Ma’juj lebih dominan mengingkari adi daya Allah ketimbang inovasi teknology yang mereka kembangkan. Pengingkaran ini adalah malapetaka yang lebih buruk lagi di kemudian hari mereka, dan masa penyingkiran otoritas secara ochlocratie yang timbul secara berkala. Kemudian setelah itu mereka menimbulkan argumen-argumen demi kepentingannya yang dessidental, dan di balik wujud tindak tumindak mereka untuk mengebiri seluruh elemen yang bertentangan pendapat dengan mereka, lahirlah apocaliptyc Ya’juj wa Ma’juj.

Keterangan ini sekaligus memberikan pernyataan mengenai Ya'juj wa Ma'juj yang dapat di diskusikan melalui dua versi, pertama Ya'juj wa Ma'juj di zaman kuno, dan kedua Ya'juj wa Ma'juj di zaman modern. Hal ini lebih masuk akal untuk mentafsir definisi Ya’juj wa Ma’juj yang di ruwat melalui dalil-dalil yang ada.

Dan pada zaman Dzulqornaen, kejelasan apocaliptyc Ya`juj dan Ma`juj yang kerap melakukan kerusakan juga di jelaskan dalam al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;

قَالُواْ يَـٰذَا ٱلۡقَرۡنَيۡنِ إِنَّ يَأۡجُوجَ وَمَأۡجُوجَ مُفۡسِدُونَ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَهَلۡ نَجۡعَلُ لَكَ خَرۡجًا عَلَىٰٓ أَن تَجۡعَلَ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَهُمۡ سَدًّ۬ا


Mereka berkata, ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi ...” (Al-Kahfi: 94)

Kata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, yang dimaksud Al-Ifsad (membuat kerusakan) di muka bumi mencakup semua perbuatan yang tidak baik dan tidak memperbaiki. Merusak dengan membunuh, merampok atau merampas, penyimpangan, kesyirikan, dan dalam segala hal.

Adapun achterdocht yang menimbulkan hypothesa terhadap dua versi Ya’juj wa Ma’juj adalah bagian dari jenis manusia yang hidup berdampingan di zaman masing-masing, seperti di kutip pada bunyi ayat berikut; “ Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya”.

Lalu dari keterangan lain yang menguatkan Ya`juj dan Ma`juj merupakan anak keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam (manusia), yaitu adanya dalil dari sanad hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda; “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai Adam.” Adam menjawab: “Aku sambut panggilan-Mu dan dengan bahagia aku penuhi perintah-Mu, segala kebaikan berada di tangan-Mu. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Keluarkanlah utusan (penghuni) neraka.” Adam bertanya, “Apa utusan (penghuni) neraka itu?” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dari setiap 1.000 orang ada 999 orang.” Maka, ketika itu anak-anak kecil rambutnya beruban, yang hamil melahirkan kandungannya, dan kamu lihat manusia mabuk padahal mereka tidak mabuk, akan tetapi karena adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala yang teramat keras. Para shahabat bertanya, “Siapa satu yang selamat dari kita itu, wahai Rasulullah?” Beliau jawab, “Bergembiralah, karena kamu hanya seorang sedang dari kalangan Ya`juj dan Ma`juj seribu orang.” (Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Anbiya` Bab Qishshah Ya`juj wa Ma`juj)

Sejauh mendominasi bentuk rasa pracaya (keimanan) yang ada di dalam tiap-tiap ensiklopedik eploidisasi Ya'juj wa Ma'juj, bahwa mereka memiliki istimdad yang berasal dari keturunan Yafits bin Nuh as, lalu opodosi zei wewengkon yang mengangkat nama Dzulqornaen yang di paradigmatiskan di dalam al Qur'an. Kemudian kelengkapan argumentasi-argumentasi berkembang menyesuaikan pengalaman lagenda di masing-masing wilayah. Allah berfirman di dalam surah al Kahfi ayat 92 s/d 99;

“Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan keduanya, suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: ‘Hai Dzulqarnain ! , sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan suatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?’ Dzulqarnain berkata: ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kalian dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi.’ Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: ‘Tiuplah (api itu).’ Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: ‘Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.’ Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya. Dzulqarnain berkata: ‘Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku, maka apabila telah datang janji Rabbku Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabbku itu adalah benar.’ Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya.”

bersambung ................ 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar